MOMENTUM QURBAN, PERSEPEKTIF RITUAL DAN KESALEHAN SOSIAL
Oleh : Abdul Azis Faradi,M.Pd.
(Guru pada MAN Gerung- Kementerian Agama Lobar)
Satu pekan lagi kita umat Islam akan merayakan hari
Raya kurban. Kurban berasal dari kata Arab yakni Qurbah, yang bermakna
mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dalam ritual
Kurban, umat Islam juga melakukan udlhiyah atau juga berarti
penyembelihan hewan kurban. Seluruh umat Islam di muka bumi melaksanakan
penyembelihan hewan kurban seperti domba, sapi atau unta, sebagai tanda
memenuhi panggilan Allah SWT.Hari Raya Kurban juga merupakan refleksi atas
catatan sejarah perjalanan kebaikan umat manusia pada masa lalu. Dalam konteks
sejarah, Hari Raya Kurban berarti refleksi atas ketulusan dan loyalitas Nabi
Ibrahim terhadap perintah-perintah Allah SWT. Dalam konteks ini, mimpi Ibrahim
untuk menyembelih anaknya, Ismail, merupakan sebuah ujian Tuhan, sekaligus
perjuangan maha berat seorang Nabi Ibrahim yang diperintah oleh Tuhannya
melalui malaikat Jibril untuk mengurbankan anaknya.
Peristiwa itu
harus dimaknai sebagai pesan simbolik agama, yang menunjukkan ketakwaan,
keikhlasan, dan kepasrahan seorang Ibrahim pada titah sang pencipta.Hampir
seluruh ulama sepakat bahwa apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim terhadap
Ismail adalah bukti penyerahan diri sepenuhnya terhadap perintah Tuhan. Oleh
karenanya ajaran Nabi Ibrahim disebut sebagai ajaran Islâm atau (penyerahan
diri). Seorang mufassir modern, Muhamad Ali (1874-1951) memaknai kurban sebagai
tindakan kerendahan hati dan kesabaran dalam penderitaan dan ketakjuban kepada
Ilahi. Dalam hal penyembelihan hewan sebagai simbol kurban.Sementara
intelektual Muslim asal Iran, Ali Syariati, dalam bukunya ‘Hajj’, ibadah ritual
Kurban bukan sekadar memiliki makna bagaimana manusia (baca: umat Islam)
mendekatkan diri kepada Allah SWT, tetapi juga mendekatkan diri kepada sesama
manusia, terutama mereka yang tergolong sebagai kaum dhuafa dan marginal.Ali
Syariati memaknainya sebagai sebuah perumpamaan atas kemusnahan dan kematian
ego.
Berkurban berarti menahan diri dari, dan berjuang
melawan, godaan ego. Kurban atau penyembelihan hewan sebenarnya adalah lambang
dari penyembelihan hewan (nafsu hewani) dalam diri manusia. Ibadah Kurban juga
memiliki pesan bahwa umat Islam diharuskan lebih mendekatkan diri dengan kaum
dhuafa (kaum miskin) dan lebih mengutamakan nilai-nilai persaudaraan dan
kesetiakawanan sosial.Ibadah Kurban juga mengajarkan bahwa umat Islam tidak
mengambil harta kekayaan orang lain. seruan “Korbanlah Ismalilmu” yang bernada
perintah tidak hanya saran tetapi juga merupakan sebuah keharusan.Dengan
begitu, melalui berqurban, kita dapat mendekatkan diri kepada kaum dhuafa. Bila
kita diberikan kenikmatan dari Allah, maka kita diwajibkan untuk berbagi
kenikmatan dengan orang lain. Ibadah kurban mengajak mereka yang termasuk dalam
golongan dhuafa untuk merasakan kenyang.Atas dasar spirit itu, peringatan Idul
Adha dan ritus kurban memiliki tiga makna penting sekaligus. Pertama, makna
ketakwaan manusia atas perintah sang Khalik.
Kurban adalah simbol penyerahan diri manusia secara
utuh kepada sang pencipta, sekalipun dalam bentuk pengurbanan seorang anak yang
sangat kita kasihi.Maka qurban dalam pengertian Islam merupakan sarana mendekatkan
diri kepada Allah lewat binatang ternak yang disembelih. Dengan menyembelih
binatang ternak seorang muslim pada hari raya idul adha dan hari-hari tasyrik
telah merelakan sebagian harta yang dimilikinya sebagai realisasi ketaatannya
kepada perintah Allah dalam al-Qur’an, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu
nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah“.
(Q.S. al-Kautsar (108) : 1-2). Karena itu, qurban dalam Islam hanyalah sebagai
perlambang saja, sebab yang terpenting ketulusan hati untuk melaksanakan ibadah
itu sebagai rasa syukur kepada Allah S.W.T. Dengan berqurban dalam
konteknya yang lebih luas akan membangun eksistensi manusia yang sejati,
manusia yang menyandang staus Abdullah dan khalifatullah
(hamba Tuhan dan wakil Tuhan di permukaan bumi ini.
Dalam tataran sosial, spirit ibadah berqurban
sebaiknya kita jadikan sebagai prinsip hidup dalam berbagai sesama umat manusia
dalam kehidupan sehari-hari. Spirit berqurban janganlah sekadar kita
implementasikan hanya membeli hewan ternak lalu disembelih dan dagingnya
dibagikan kepada kaum dhuafa. Sebaiknya lebih dari itu. Spirit berkurban harus
kita jadikan spirit hidup sepanjang masa.Bagi seorang aparatur pemerintah,
spirit berqurban bisa dijadikan sebagai prinsip hidup dalam memberikan
pelayanan publik terbaik dan menuju yang paling terbaik untuk masyarakat (kesalehan
sosial) Memberikan pelayanan publik kepada masyarakat tidak pandang
bulu, suku, ras, agama, latarbelakang ekonomi serta tidak bermotifkan
keuntungan.Bagi seorang akademisi, pelajar dan mahasiswa, sebaiknya spirit
berkurban bisa menjadi landasan dalam belajar, mengajar dan melakukan
penelitian yang menghasilkan ilmu bermanfaat bagi kehidupan masyarakat.
Setiap yang
disyariatkan Allah kepada hambanya di samping memiliki makna dalam konteks
relasi hamba dengan
Rabb-nya seperti
disebutkan di atas, juga selalu memiliki makna dalam kehidupan sehari-hari
dalam konteks relalsi hamba dengan hamba.
Sehingga setiap yang disyariatkan Allah kepada hambanya, pasti memiliki makna
dalam kehidupan sehari-hari. Ibadah qurban di samping memiliki makna ritual
juga mengandung makna sosial. Artinya, umat Islam yang melaksanakan qurban atau
umat Islam lain yang tidak berqurban tetapi mereka merayakan idul qurban sudah
seharusnya berupaya mengambil makna yang ada dalam ibadah qurban agar umat
Islam benar-benar dapat mengimplementasikan nilai atau makna ibadah qurban
dalam kehidupan sehari-hari. Ibadah qurban yang dirayakan setiap tahun oleh
umat Islam hanya sampai di bibir saja, hanya sampai pada proses penyembelihan
hewan qurban saja, bahkan sangat ironis ibadah qurban hanya dijadikan arena
pesta pora makan-makan bagi masyarakat.
Ibadah qurban
haruslah dimaknai sebagai pendidikan kepada orang yang mampu untuk memberikan
sebagian harta kekayaannya kepada umat yang membutuhkan (miskin). Dengan
harapan dapat meringankan beban penderitaan bagi kaum lain yang masih dalam ,kemiskinan.
Membantu agar meringankan beban orang lain tidak selalu dengan harta kekayaan,
melainkan bisa dengan kemampuan intelektual (konseptual). Orang yang tidak
memiliki harta tetapi memiliki kualitas intelektual maka mereka harus membantu
meringankan beban dengan pikiran.Semangat membantu meringankan penderitaan
sesama manusia adalah substansi qurban yang perlu dikedepankan. Orang yang
tidak memiliki semangat untuk membantu meringankan beban penderitaan orang lain
meskipun mereka setiap tahun melaksanakan penyembelihan hewan qurban, belum
dapat dikatakan telah melaksanakan ibadah qurban. Sebaliknya, meskipun
seseorang itu tidak pernah menyembelih hewan qurban tetapi memiliki semangat
dan selalu memberi bantuan kepada orang lain yang membutuhkan berarti mereka
telah melaksanakan ibadah qurban.
Ibadah qurban juga mengandung makna agar
umat Islam dalam kehidupannya selalu , membuang jauh-jauh sifat-sifat binatang
yang bersarang dalam dirinya. Karakter dominan dari binatang adalah tidak
memiliki rasa kebersamaan atau persatuan-kesatuan, hanya mementingkan isi perut
(kenyang), tidak mengenal aturan, norma atau etika. Qurban bukan semata-mata
hanya cukup dengan menyembelih hewan qurban, justru yang sangat penting adalah
bagaimana manusia benar-benar mampu membuang jauh-jauh segala mentalitas yang
dimiliki binatang dari dalam dirinya. Imam Al-Gazali menyebut, ada dua sifat
yang selalu bergejolak dalam diri manusia, yaitu sifat malaikatiyah dan sifat
hewaniyah. Sifat malaikatiyah selalu mengajak untuk berbuat positif, sedang
sifat hewaniyah selalu mengajak untuk berbuat jahat. Substansi qurban berarti
upaya untuk mengoptimalkan sifat malaikatiyah dan menghilangkan sifat
hewaniyah.
Untuk itulah, ibadah qurban
sudah sepantasnya dijadikan momentum yang sangat berharga untuk menggerakkan
dan mengembangkan kesadaran sosial bagi sebagian orang yang memiliki aset
ekonomi memadai agar melakukan pemerataan kesejahteraan. Hewan qurban hanyalah
repesentasi dari keniscayaan berqurban yang lebih besar bagi kepentingan
masyarakat. Dengan demikian, wujud kecintaan kepada Allah dapat
dimanifestasikan dalam kecintaan kepada sesama manusia. Jika kita membaca kisah
Nabi Ibrahim a.s. dan Ismail a.s. yang merupakan akar sejarah diturunkan ibadah
qurban ini kepada kita sampai hari ini, maka kita menemukan makna spritualitas
yang sangat tinggi. Secara spiritual, apa yang diteladankan oleh Nabi Ibrahim
a.s. dan Ismail a.s. itu, menunjukkan kepasrahan atau kepatuhan yang total dari
hamba kepada Allah dalam menunaikan ibadah. Ternyata kepatuhan atau kepasrahan
tersebut bukan untuk Tuhan melainkan untuk manusia itu sendiri. Setiap ibadah
memang menuntut adanya totalitas kepasrahan dan kepatuhan. Inilah yang disebut
beribadah dengan ikhlas, tanpa pamrih kecuali karena Allah semata. Ini bermakna
bahwa kita dalam beribadah tidak boleh terpecah-pecah, atau tidak ikhlas, ingin
pamer atau dianggap memiliki tingkat ibadah yang tinggi. Ibadah yang ikhlas dan
pasrah adalah jauh dari riya’ (agar dilihat orang ), sum’ah (agar
didengar orang lain) sehingga tidak hanya lillah ta’ala melainkan juga
billah ta’ala.(*)
Posting Komentar