Blog Resmi MAN Gerung Jln.Imam Bonjol No.2 Gerung Kabupaten Lombok Barat - NTB

Momentum Qurban 1436 H, Persepektif Ritual dan Kesalehan Sosial




MOMENTUM QURBAN, PERSEPEKTIF RITUAL DAN KESALEHAN SOSIAL
Oleh : Abdul Azis Faradi,M.Pd.
(Guru pada MAN Gerung- Kementerian Agama Lobar)

Satu pekan lagi kita umat Islam akan merayakan hari Raya kurban. Kurban  berasal dari kata Arab yakni Qurbah, yang bermakna mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dalam ritual Kurban, umat Islam juga melakukan udlhiyah atau juga berarti penyembelihan hewan kurban. Seluruh umat Islam di muka bumi melaksanakan penyembelihan hewan kurban seperti domba, sapi atau unta, sebagai tanda memenuhi panggilan Allah SWT.Hari Raya Kurban juga merupakan refleksi atas catatan sejarah perjalanan kebaikan umat manusia pada masa lalu. Dalam konteks sejarah, Hari Raya Kurban berarti refleksi atas ketulusan dan loyalitas Nabi Ibrahim terhadap perintah-perintah Allah SWT. Dalam konteks ini, mimpi Ibrahim untuk menyembelih anaknya, Ismail, merupakan sebuah ujian Tuhan, sekaligus perjuangan maha berat seorang Nabi Ibrahim yang diperintah oleh Tuhannya melalui malaikat Jibril untuk mengurbankan anaknya.

 
 Peristiwa itu harus dimaknai sebagai pesan simbolik agama, yang menunjukkan ketakwaan, keikhlasan, dan kepasrahan seorang Ibrahim pada titah sang pencipta.Hampir seluruh ulama sepakat bahwa apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim terhadap Ismail adalah bukti penyerahan diri sepenuhnya terhadap perintah Tuhan. Oleh karenanya ajaran Nabi Ibrahim disebut sebagai ajaran Islâm atau (penyerahan diri). Seorang mufassir modern, Muhamad Ali (1874-1951) memaknai kurban sebagai tindakan kerendahan hati dan kesabaran dalam penderitaan dan ketakjuban kepada Ilahi. Dalam hal penyembelihan hewan sebagai simbol kurban.Sementara intelektual Muslim asal Iran, Ali Syariati, dalam bukunya ‘Hajj’, ibadah ritual Kurban bukan sekadar memiliki makna bagaimana manusia (baca: umat Islam) mendekatkan diri kepada Allah SWT, tetapi juga mendekatkan diri kepada sesama manusia, terutama mereka yang tergolong sebagai kaum dhuafa dan marginal.Ali Syariati memaknainya sebagai sebuah perumpamaan atas kemusnahan dan kematian ego.
Berkurban berarti menahan diri dari, dan berjuang melawan, godaan ego. Kurban atau penyembelihan hewan sebenarnya adalah lambang dari penyembelihan hewan (nafsu hewani) dalam diri manusia. Ibadah Kurban juga memiliki pesan bahwa umat Islam diharuskan lebih mendekatkan diri dengan kaum dhuafa (kaum miskin) dan lebih mengutamakan nilai-nilai persaudaraan dan kesetiakawanan sosial.Ibadah Kurban juga mengajarkan bahwa umat Islam tidak mengambil harta kekayaan orang lain. seruan “Korbanlah Ismalilmu” yang bernada perintah tidak hanya saran tetapi juga merupakan sebuah keharusan.Dengan begitu, melalui berqurban, kita dapat mendekatkan diri kepada kaum dhuafa. Bila kita diberikan kenikmatan dari Allah, maka kita diwajibkan untuk berbagi kenikmatan dengan orang lain. Ibadah kurban mengajak mereka yang termasuk dalam golongan dhuafa untuk merasakan kenyang.Atas dasar spirit itu, peringatan Idul Adha dan ritus kurban memiliki tiga makna penting sekaligus. Pertama, makna ketakwaan manusia atas perintah sang Khalik.
Kurban adalah simbol penyerahan diri manusia secara utuh kepada sang pencipta, sekalipun dalam bentuk pengurbanan seorang anak yang sangat kita kasihi.Maka qurban dalam pengertian Islam merupakan sarana mendekatkan diri kepada Allah lewat binatang ternak yang disembelih. Dengan menyembelih binatang ternak seorang muslim pada hari raya idul adha dan hari-hari tasyrik telah merelakan sebagian harta yang dimilikinya sebagai realisasi ketaatannya kepada perintah Allah dalam al-Qur’an, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah“. (Q.S. al-Kautsar (108) : 1-2). Karena itu, qurban dalam Islam hanyalah sebagai perlambang saja, sebab yang terpenting ketulusan hati untuk melaksanakan ibadah itu sebagai rasa syukur kepada Allah S.W.T.  Dengan berqurban dalam konteknya yang lebih luas akan membangun eksistensi manusia yang sejati, manusia yang menyandang staus Abdullah dan khalifatullah (hamba Tuhan dan wakil Tuhan di permukaan bumi ini.
Dalam tataran sosial, spirit ibadah berqurban sebaiknya kita jadikan sebagai prinsip hidup dalam berbagai sesama umat manusia dalam kehidupan sehari-hari. Spirit berqurban janganlah sekadar kita implementasikan hanya membeli hewan ternak lalu disembelih dan dagingnya dibagikan kepada kaum dhuafa. Sebaiknya lebih dari itu. Spirit berkurban harus kita jadikan spirit hidup sepanjang masa.Bagi seorang aparatur pemerintah, spirit berqurban bisa dijadikan sebagai prinsip hidup dalam memberikan pelayanan publik terbaik dan menuju yang paling terbaik untuk masyarakat (kesalehan sosial) Memberikan pelayanan publik kepada masyarakat tidak pandang bulu, suku, ras, agama, latarbelakang ekonomi serta tidak bermotifkan keuntungan.Bagi seorang akademisi, pelajar dan mahasiswa, sebaiknya spirit berkurban bisa menjadi landasan dalam belajar, mengajar dan melakukan penelitian yang menghasilkan ilmu bermanfaat bagi kehidupan masyarakat.
Setiap yang disyariatkan Allah kepada hambanya di samping memiliki makna dalam konteks relasi hamba dengan Rabb-nya seperti disebutkan di atas, juga selalu memiliki makna dalam kehidupan sehari-hari dalam konteks relalsi hamba dengan hamba. Sehingga setiap yang disyariatkan Allah kepada hambanya, pasti memiliki makna dalam kehidupan sehari-hari. Ibadah qurban di samping memiliki makna ritual juga mengandung makna sosial. Artinya, umat Islam yang melaksanakan qurban atau umat Islam lain yang tidak berqurban tetapi mereka merayakan idul qurban sudah seharusnya berupaya mengambil makna yang ada dalam ibadah qurban agar umat Islam benar-benar dapat mengimplementasikan nilai atau makna ibadah qurban dalam kehidupan sehari-hari. Ibadah qurban yang dirayakan setiap tahun oleh umat Islam hanya sampai di bibir saja, hanya sampai pada proses penyembelihan hewan qurban saja, bahkan sangat ironis ibadah qurban hanya dijadikan arena pesta pora makan-makan bagi masyarakat.
Ibadah qurban haruslah dimaknai sebagai pendidikan kepada orang yang mampu untuk memberikan sebagian harta kekayaannya kepada umat yang membutuhkan (miskin). Dengan harapan dapat meringankan beban penderitaan bagi kaum lain yang masih dalam ,kemiskinan. Membantu agar meringankan beban orang lain tidak selalu dengan harta kekayaan, melainkan bisa dengan kemampuan intelektual (konseptual). Orang yang tidak memiliki harta tetapi memiliki kualitas intelektual maka mereka harus membantu meringankan beban dengan pikiran.Semangat membantu meringankan penderitaan sesama manusia adalah substansi qurban yang perlu dikedepankan. Orang yang tidak memiliki semangat untuk membantu meringankan beban penderitaan orang lain meskipun mereka setiap tahun melaksanakan penyembelihan hewan qurban, belum dapat dikatakan telah melaksanakan ibadah qurban. Sebaliknya, meskipun seseorang itu tidak pernah menyembelih hewan qurban tetapi memiliki semangat dan selalu memberi bantuan kepada orang lain yang membutuhkan berarti mereka telah melaksanakan ibadah qurban.
Ibadah qurban juga mengandung makna agar umat Islam dalam kehidupannya selalu , membuang jauh-jauh sifat-sifat binatang yang bersarang dalam dirinya. Karakter dominan dari binatang adalah tidak memiliki rasa kebersamaan atau persatuan-kesatuan, hanya mementingkan isi perut (kenyang), tidak mengenal aturan, norma atau etika. Qurban bukan semata-mata hanya cukup dengan menyembelih hewan qurban, justru yang sangat penting adalah bagaimana manusia benar-benar mampu membuang jauh-jauh segala mentalitas yang dimiliki binatang dari dalam dirinya. Imam Al-Gazali menyebut, ada dua sifat yang selalu bergejolak dalam diri manusia, yaitu sifat malaikatiyah dan sifat hewaniyah. Sifat malaikatiyah selalu mengajak untuk berbuat positif, sedang sifat hewaniyah selalu mengajak untuk berbuat jahat. Substansi qurban berarti upaya untuk mengoptimalkan sifat malaikatiyah dan menghilangkan sifat hewaniyah.
Untuk itulah, ibadah qurban sudah sepantasnya dijadikan momentum yang sangat berharga untuk menggerakkan dan mengembangkan kesadaran sosial bagi sebagian orang yang memiliki aset ekonomi memadai agar melakukan pemerataan kesejahteraan. Hewan qurban hanyalah repesentasi dari keniscayaan berqurban yang lebih besar bagi kepentingan masyarakat. Dengan demikian, wujud kecintaan kepada Allah dapat dimanifestasikan dalam kecintaan kepada sesama manusia. Jika kita membaca kisah Nabi Ibrahim a.s. dan Ismail a.s. yang merupakan akar sejarah diturunkan ibadah qurban ini kepada kita sampai hari ini, maka kita menemukan makna spritualitas yang sangat tinggi. Secara spiritual, apa yang diteladankan oleh Nabi Ibrahim a.s. dan Ismail a.s. itu, menunjukkan kepasrahan atau kepatuhan yang total dari hamba kepada Allah dalam menunaikan ibadah. Ternyata kepatuhan atau kepasrahan tersebut bukan untuk Tuhan melainkan untuk manusia itu sendiri. Setiap ibadah memang menuntut adanya totalitas kepasrahan dan kepatuhan. Inilah yang disebut beribadah dengan ikhlas, tanpa pamrih kecuali karena Allah semata. Ini bermakna bahwa kita dalam beribadah tidak boleh terpecah-pecah, atau tidak ikhlas, ingin pamer atau dianggap memiliki tingkat ibadah yang tinggi. Ibadah yang ikhlas dan pasrah adalah jauh dari riya’ (agar dilihat orang ), sum’ah (agar didengar orang lain) sehingga tidak hanya lillah ta’ala melainkan juga billah ta’ala.(*)

/[ 0 komentar Untuk Artikel Momentum Qurban 1436 H, Persepektif Ritual dan Kesalehan Sosial]\

Posting Komentar

 
Follow Me On Twitter Facebook Fanspage Circle Me On Google Plus